Yang Diingat: Perjalanan Hidup Kiai Ali
Ali Mustafa Yaqub, demikianlah namanya tersohor. Sosok ini dilahirkan di desa Kemiri, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, Jawa Tengah pada 2 Maret 1952. Putra pasangan Kyai Yaqub dan Nyai Habibah ini memiliki tujuh saudara. Dari ketujuh saudaranya itu, saat ini hanya dua yang masih dipanjangkan umurnya.
Seusai menempuh pendidikan dasar dan menengah di desa kelahirannya, Kiai Ali muda sebenarnya ingin melanjutkan pendidikan ke sekolah umum. Tapi ia menuruti keinginan ayahnya untuk mondok di pesantren Seblak, Jombang, hingga tingkat Tsanawiyah dari tahun 1966 hingga 1969. Kemudian pada tahun 1969 hingga 1971, ia melanjutkan pendidikan pesantrennya di Pesantren Tebuireng Jombang, yang tidak jauh dari pondok Seblak.
Di Tebuireng, Kiai Ali muda belajar kepada para ulama, antara lain: KH. Idris Kamali, KH. Adlan Ali, KH. Shobari, dan KH. Syansuri Badawi. Selain itu, ia hapalkan pula beberapa kitab seperti Matan Jurumiyyah, al-Baiqûniyyah, Alfiyyah ibnu Malik, al-Waraqât, dan lain-lain.
“Saya dulu, semasa di Tebuireng, menghafal tidak kurang dari sepuluh kitab,” katanya menyemangati santri-santrinya, yang kerap kali belum bisa menjawab pertanyaannya, dalam sekian forum pengajian pagi di Darus-Sunnah – yang disebut halaqah fajriyah.
Seusai pendidikan di Tebuireng, kiai yang menggemari wayang ini sempat berkuliah di Fakultas Syariah Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (IKAHA, sekarang Universitas Hasyim Asy’ari) tahun 1972 sampai 1975.
Pada pertengahan tahun 1976, Kiai Ali mendapat kesempatan mendapatkan beasiswa penuh dari pemerintah Arab Saudi untuk studi di Fakultas Syari’ah Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud, Riyadh, Saudi Arabia. Ia lulus, mendapatkan predikat License (Lc) pada tahun 1980. Segera setelah lulus S1 ia lanjutkan studi di Universitas King Saud Riyadh, Departemen Studi Islam spesialisasi Tafsir dan Hadis hingga mendapat predikat master di tahun 1985.
Seusai studi, ia kembali ke Indonesia. Saat masih belajar di Jombang, Kiai Ali pernah memiliki cita-cita ingin merantau ke Papua. Baginya, merantau di daerah yang masih belum banyak mengenal agama Islam seperti di Papua adalah tindakan yang akan menyiarkan pengaruh dan dakwah Islam di Indonesia.
“Asal kalian tahu, saya bercita-cita merantau ke Papua. Lalu di sana saya mempunyai gubuk, rumah dan jika bisa juga surau di pelosok Papua sana. Lalu sehari-hari saya membimbing masyarakat dan anak-anak untuk ngaji dan mengenal Islam di sana, juga bertani dan berkebun,” tuturnya, sekian kali kepada santri-santrinya, termasuk dalam forum pengajian pagi terakhir itu, Selasa 26 April 2016.
Lanjutnya, impian ini urung terlaksana setelah diminta oleh tiga gurunya agar tetap tinggal di Jakarta. Tiga sosok itu adalah KH. Ibrahim Hosen, rektor IIQ dan juga anggota MUI saat itu; KH. Syansuri Badawi, gurunya di Tebuireng; dan juga KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Salah satu alasannya, berdakwah tidak harus di tempat terpencil. Berdakwah di Jakarta, dengan segala permasalahannya, adalah lahan dakwah dan perjuangan yang juga amat berarti.
Yang Tercatat: Kiprah dan Karya
Sejak bermukim di Jakarta, ia aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi. Tercatat di antaranya adalah Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, STAI Al Hamidiyah juga IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN). Bidang yang diajarkan terutama adalah sesuai kecakapan ia, yaitu bidang studi agama khususnya hadis dan ilmu hadis.
Selain aktif di bidang akademik, ia juga terlibat di berbagai lembaga dan organisasi. Ia dikenal luas sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal dari tahun 2005 sampai 2016. Selain itu, ia juga mejbat Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Fatwa (2010-2016). Ia juga aktif di MUI, mulai menjadi anggota Komisi Fatwa MUI (1986-2005), Wakil Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI (1997-2010), juga Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI (2005-2010). Terakhir sejak 2015, bersama beberapa ulama, ia menggagas organisasi Ikatan Persaudaraan Imam Masjid (IPIM) se-Indonesia.
Yang menarik, meskipun belum menempuh studi doktoral, ternyata Kiai Ali telah diangkat menjadi Guru Besar Hadis dan Ilmu Hadis di IIQ Jakarta pada tahun 1998. Ia menyelesaikan jenjang doktoralnya pada tahun 2006 di Universitas Nizhamia, Hyderabad, India di bawah bimbingan Syekh M. Hassan Hitou, seorang Guru Besar Fikih Islam dan Ushul Fiqh Universitas Kuwait serta Direktur salah satu lembaga studi Islam internasional yang berpusat di Frankfurt, Jerman. Pada tahun 2008, Kiai Ali mendapat penghargaan dari Presiden RI berupa Satya Lencana Wirakarya atas kiprahnya dalam dakwah dan pengajaran Islam di Indonesia.
Pengaruh Kiai Ali ternyata tidak hanya berada dalam sekup nasional, melainkan sampai mancanegara. Kiai yang juga kerap tampil dalam berbagai dialog di televisi ini pun banyak diundang ke berbagai negara sebagai narasumber maupun undangan, antara lain:
- Ketua Delegasi MUI untuk Mengaudit Pemotongan Hewan di Amerika dan Kanada (2007)
- Peserta dan Pemakalah dalam Konfrensi Internasional tentang Metode Penetapan Fatwa di Kuala Lumpur, Malaysia (2006)
- Studi Banding tentang Metode Pelestarian al-Qur’an, di Turki, Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2006)
- Peserta Konferensi Internasional ke-6, Lembaga Keuangan Islam, Bahrain (2007)
- Narasumber Seminar Kepimpinan Pegawai-pegawai Masjid, Bandar Seri Begawan Negara Brunei Darussalam (November 2010)
- Narasumber Pengajian Ramadhan al-Durus Al-Hassaniyah 1432 H/ 2011 M, Kerajaan Maroko (Agustus 2011)
- Narasumber Seminar Islam Asia Tenggara, Kuala Lumpur Malaysia (2013)
- Anggota Delegasi Kunjungan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ke Kerajaan Saudi Arabia (2014), dan lain sebagainya.
Kiai Ali juga dipercaya menjadi penasehat lembaga-lembaga Islam di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat. Ia menjadi penasehat Sharia Halal Transactions of Omaha (2010-2016), lalu penasehat lembaga keagamaan Darul Uloom New York (2013-2016). Dan satu yang banyak dicatat: bagaimana Kiai Ali menemani mantan Presiden AS Barack Obama beserta istrinya di Masjid Istiqlal, memperkenalkan indahnya Islam di Indonesia.
Hal yang patut diperhatikan dan diteladani dari Kiai Ali adalah produktifitasnya dalam menghasilkan karya tulis. Karya tulis ini meluas dari tema-tema seputar hadis dan ilmu hadis, hukum Islam, pandangan-pandangan tentang Islam, sampai kisah-kisah sederhana namun kaya makna. Beberapa karyanya diantaranya; Imam Bukhari Dan Metodologi Kritik Dalam Ilmu Hadis (1991); Kritik Hadis (1995); Peran Ilmu Hadis Dalam Pembinaan Hukum Islam (1999); MM A’zamî Pembela Eksistensi Hadis (2002); Hadis-Hadis Bermasalah (2003); dan Hadis-Hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003).
Dalam bidang fikih antara lain: Kriteria Halal-Haram Untuk Pangan, Obat Dan Kosmetika Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2009); Nikah Beda Agama Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2005); dan Imam Perempuan (2006).
Kemudian di bidang dakwah antara lain: Nasihat Nabi Kepada Pembaca Dan Penghafal al-Qur’an (1990); Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi (1997); Kerukunan Umat Dalam Perspektif al-Qur’an Dan Hadis (2000); Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003); Toleransi Antar Umat Beragama (2008); Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008); dan 24 Menit Bersama Obama (2010).
Beberapa buku ia berisi kumpulan tulisan dari berbagai materi bahasan seputar Islam dan Tanya Jawab Keagamaan. Tulisan-tulisan tersebut pernah dimuat di berbagai media massa, baik surat kabar maupun majalah yang terbit di Jakarta, atau makalah-makalah yang disampaikan ia dalam berbagai forum. Buku-buku tersebut meliputi: Islam Masa Kini (2001); Fatwa-Fatwa Masa Kini (2002); Haji Pengabdi Setan (2006); Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007); Provokator Haji (2009); Islam Between War and Peace (2009) (buku ini merupakan buku yang dihadiahkan kepada Obama saat berkunjung ke Istiqlal); dan Islam di Amerika (2009).
Hal yang menarik adalah dalam tulisannya, banyak yang merupakan jawaban-jawaban aktual dari pertanyaan masyarakat. Karya-karya tersebut ditulis dalam tiga bahasa; Arab, Inggris dan Indonesia. Bahkan sebelum ia wafat, masih disempatkan menyusun beberapa buku. Diantaranya adalah Islam is not Only for Muslim yang ditulis dengan bahasa Inggris. Selain itu juga buku berjudul “Titik-Temu NU-Wahabi” yang diterjemahkan ke bahasa Arab dengan judul: “al-Wahabiyah wa Nahdlatul Ulama: Ittifaqun fi al-Ushul la Ikhtilaf”.
Baginya dakwah yang dilakukan melalui tulisan lebih banyak manfaatnya dari pada dakwah yang hanya dilakukan melalui lisan. Tulisan akan tetap kekal walaupun penulisnya sudah meninggal dunia (al-khattu yabqa zamanan fil ardhi wal katibul khatti tahta al-ardhi madfunun).
“Wa la tamutunna illa wa antum katibun. Jangan mati kecuali kamu sudah menulis karya,” ujarnya, berulang-ulang dalam berbagai kesempatan.
Yang Terasa Dekat: Darus-Sunnah
Pesantren Darus-Sunnah didirikan tahun 1997, dengan mulanya belum ada santri menetap. Embrio pesantren ini adalah pengajian rutin bersama masyarakat kampung Pisangan Barat di Masjid Al Mujahidin, sekitar 50 meter dari lokasi pesantren Darus-Sunnah. Kemudian dikembangkan menjadi pesantren, yang lokasinya menyatu dengan rumah ia.
“Anaa abuukum. Wa antum abnaa’i jami’an. Aku bapak kalian. Dan kalian semua, adalah anak-anakku,” katanya berulang kali, dan suasana selalu terasa damai pada momen-momen itu.
Kiai Ali tinggal bersama Nyai Hj. Ulfah Uswatun Hasanah di rumah sederhana yang menyatu dengan pesantren. Keduanya dikaruniai satu orang anak, H. Zia Ul Haramein, Lc. Sehari-hari, kiai Ali menemani santri dan mahasantri belajar, menelaah kitab-kitab, serta sesekali: menghukum dengan berdiri di ruangan sebab mengantuk atau tidak bisa menjawab pertanyaan, atau memberi tugas dari telaah kitab-kitab.
“Anta naim? Madza qultu ana? Kamu tidur? Apa yang saya bilang barusan?”. Lalu santri yang benar mengantuk itu akan celingukan, serba salah, sebelum tiba instruksi,
“Qum! Berdiri!”
Saat ini, semenjak berdirinya Darus-Sunnah telah meluluskan 15 angkatan mahasantri, kemudian telah turut membimbing sekian non-muslim masuk Islam dan muallaf, serta membuka Madrasah Darus-Sunnah setingkat Tsanawiyah dan Aliyah.
Darus-Sunnah dalam pembelajaran sehari-hari fokus mendalami hadis dan ilmu hadis, mencakup kutubus sittah dan studi riwayat, serta ilmu-ilmu penunjang seperti Ulumul Qur’an, Ilmu Tafsir, serta kajian-kajian keagamaan lainnya. Selain itu, aktivitas studinya menggunakan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar.
Tiga pilar yang harus diperhatikan betul oleh mahasantri Darus-Sunnah, sering sekali diulang, “Kalian harus mengutamakan studi, dirasah juga cakap dalam berorganisasi, munazhamah. Tapi jangan lupa, untuk tetap bersenang-senang, berekreasi, istijmam,”
Kiai Ali wafat pada hari Kamis pagi, 28 April 2016. Disemayamkan di belakang Masjid Muniroh Salamah, komplek Pesantren Darus-Sunnah. Dan meski telah tiada, semua tetap terasa dekat. Perjuangan yang telah tercatat, harus dilanjutkan; kisah hidup yang teringat, harus dijadikan teladan.
Dhawuh Kiai Ali, untuk seluruh “anak-anaknya”,
“Kun khadiman li rasulillah. Jadilah pelayan Rasulullah. Seandainya Rasul masih hidup, saya pun ingin menjadi pelayannya,”.
Allahumma faqqih man yadrus fi hadzal ma’had, wa ‘allimhu at ta’wil. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
——————–
Obituari ini disusun oleh:
- Iqbal Syauqi al-Ghifari
- Alvin Nur Choironi,
- Imam Budiman, Lc.