Sudah jamak diketahui bahwa fungsi hadis adalah sebagai penjelas bagi al-Quran. Ia menjelaskan apapun yang telah disebutkan dalam al-Quran. Bahkan, ketika al-Quran tidak menyebutkan, hadis Nabi tak jarang menjelaskannya.
Para ulama terdahulu selalu menjadikan argumentasi bahwa al-Quran tanpa hadis, akan sulit dipahami dan diamalkan, namun tidak demikian sebaliknya. Hadis sahih atau sunnah Nabi sudah pasti berlandaskan al-Quran. Dengan demikian, seandainya ada orang yang tidak mampu membaca dan memahami al-Quran, namun mampu memahami kandungan hadis Nabi, maka hal itu sudah cukup untuk dapat disebut sebagai mengamalkan al-Quran. Ini karena hadis Nabi secara umum lebih detail penjelasannya daripada al-Quran.
Meski demikian, bukan berarti bahwa untuk memahami hadis adalah perkara yang mudah. Bahkan, meskipun seseorang telah memahami bahasa Arab dengan baik sekalipun, belum tentu mampu memahami kandungan hadis dengan baik. Ini karena ada banyak hal fundamental yang harus dikuasai oleh orang yang hendak memahami hadis.
Memahami hadis, sebagaimana memahami ayat tidak cukup hanya dengan mengandalkan redaksinya saja. Lebih-lebih, dalam memahami ayat al-Quran. Sekedar berpijak kepada keumuman lafal al-Quran saja, tidak cukup memberikan informasi yang tepat, meskipun dari segi kosa kata dan struktur kebahasaan sudah dapat diketahui terjemahannya.
Di situlah dalam memahami ayat al-Quran harus melibatkan hadis-hadis Nabi, terutama sekali hadis-hadis yang berkenaan dengan turunnya ayat al-Quran. Baik itu hadis yang meletarbelakangi turunnya ayat, hadis yang disabdakan karena turunnya ayat tertentu, maupun hadis-hadis yang sekedar menjelaskan kandungan ayat al-Quran. Itulah biasanya yang disebut dengan sabab nuzul ayat, atau munasabah nuzul. Sedangkan sabab nuzul harus bersumber dari hadis sahih, tidak boleh berdasarkan logika.
Salah satu ayat yang akan sulit sekali dipahami tanpa hadis adalah ayat tentang perintah salat. Ini adalah contoh yang paling populer. Perintah shalat dalam al-Quran yang diungkapkan dengan redaksi wa aqimus shalah terulang sebnyak 7 kali. Belum lagi perintah shalat dnegan redaksi lain. Sedangkan tak satupun ayat yang menjelaskan serangkaian prosesi dan ritual shalat, sebagaimana yang sekarang ini selalu kita lakukan. Hanya hadis-hadis Nabi yang menjelaskannya secara detail.
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh atas apa yang telah mereka makan selama mereka bertakwa, beriman, serta beramal saleh, kemudian mereka bertakwa dan beriman, kemudian bertakwa dan berbuat kebaikan. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Qs. al-Maidah: 93)
Secara lahiriah, ayat ini menjelaskan bahwa orang beriman bebas makan apa saja. Tidak ada halal dan haram. Apapun boleh mereka makan selama mereka berktakwa, beriman, dan berbuat kebaikan. Orang akan berpahaman bahwa korupsi itu boleh asalkan untuk kebaikan, membangun panti asuhan, lembaga pendidikan, atau berhaji-umrah, misalnya. Tentu sama sekali tidak demikian maksud ayat itu.
Meskipun secara kaidah kebahasaan dapat saja digali makna penggunaan fi’il madli (kata kerja lampau) untuk kata “makan”, namun hal itu tidak menunjukkan pemahaman yang pasti. Pada kenyataannya, seseorang, melalui penjelasan para ulama terdahulu memahami bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah nasib orang-orang beriman yang telah meninggal dunia pada saat khamr masih belum diharamkan secara mutlak, sedangkan mereka dahulu adalah peminum khamr.
Ayat tersebut kemudian memberikan ketegasan hukum, bahwa mereka tidak berdosa meskipun mereka dahulu adalah peminum khamr.Ketakwaan, keimanan, dan amal saleh mereka setelah mengetahui aturan yang berlaku saat itulah yang membuat mereka diampuni. Ketika belum diharamkan secara mutlak, namun diminta untuk minum khamr saat hendak shalat, mereka taat. Mereka masih mimun khamr, namun tidak meminumnya saat hendak shalat. Perlu diingat, bahwa saat itu larangan khamr masih belum paripurna.
Lalu, kekhawatiran itu muncul dalam diri para sahabat yang menyaksikan turunnya ayat tentang keharaman khamr secara mutlak. Innamal khamru wal maysiru wal anshabu rijsun min ‘amalis-syaithan, fajtanibu-hu. Para sahabat risau karena sebagian orangtua dan kerabat mereka dahulu meminum khamr yang kini terlarang keras itu. Mereka kuatir kalau pendahulu mereka itu disiksa oleh Allah. Apalagi, ketika mereka dihantui oleh ejekan dan pertanyaan-pertanyaan orang-orang Yahudi saat itu.
Penjelasan itu dapat terbaca dari hadis Nabi berikut ini:
… Saat itu aku masih menjadi pemberi mimun onta di rumah Abu Talhah. Lalu terdengar kabar oleh kami tentang turunnya ayat pengharaman khamr. Saat itu, muniman yang tersaji di rumah Abu Talhah adalah khamr.
“Keluarlah, Lihat ada suara apa itu [di sana?]!” Pinta Abu Talhah kepada salah satu pegawainya. Abu Nu’man pun keluar dan mengabarkan bahwa di luar sana sedang ada penyiar berita berkeliling Madinah untuk menyiarkan berita turunnya ayat pengharaman khamr.
“Kalau begitu, sekarang keluarlah, tumpahkanlah semua minuman [khamr] itu!” Pinta Abu Talhah segera.
Abu Nu’man pun segera menumpahkannya. Sebagian sahabat lalu bertanya-tanya, si A dan si B telah terbunuh, sedangkan mereka saat itu adalah peminum khamr [khamr itu memenuhi perut mereka]. Setelah beredar kasak-kusuk di kalangan para sahabat, turunlah Qs. al-Maidah: 93 di atas. Dengan demikian, teranglah maksud ayat di atas. Ia bukan berarti menghalalkan yang haram, melainkan mengampuni dosa-dosa saat belum ada atau belum mengetahui suatu aturan.
Ketika turun ayat pengharaman khamr, orang-orang Yahudi segera menyindir, “Bukankah dulu saudara-saudaramu yang telah mati itu juga pemunim khamr?!” Kemudian, turunlah ayat Qs. al-Maidah: 93 tersebut.
Betul, bahwa saat ini orang dapat mengetahui makna ayat tersebut sebagaimana dijelaskan di atas meskipun tidak membaca teks hadis tersebut. Namun ternyata hal itu juga didasari oleh bacan-bacaan dari penjelasan para ulama. Sedangkan para ulama sebelumya jelas telah membaca hadis-hadis tersebut. Demikianlah, antara hadis dan ayat al-Quran adalah dua entitas berbeda yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Wallahu a’lam.
One Response