larangan pujian berlebihan

Pujian yang Berlebihan

Memuji, apakah ada larangannya?, pujian merupakan salah satu bentuk apresiasi dengan memuji seseorang, sehingga ia menjadi senang dan termotivasi untuk terus maju dan berkembang.

Namun, ternyata tidak serta-merta boleh secara mutlak. Terdapat hal tertentu yang membuat pujian menjadi terlarang.

Imam Abu Dawud meriwayatkan dalam kitabnya Sunan Abi Dawud sabda Rasulullah Saw yang membahas tentang pujian:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ، عَنْ مَنْصُورٍ ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ ، عَنْ هَمَّامٍ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ فَأَثْنَى عَلَى عُثْمَانَ فِي وَجْهِهِ، فَأَخَذَ الْمِقْدَادُ بْنُ الْأَسْوَدِ تُرَابًا فَحَثَا فِي وَجْهِهِ وَقَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” إِذَا لَقِيتُمُ الْمَدَّاحِينَ فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمُ التُّرَابَ

أبو داود : سليمان بن الأشعث بن شداد بن عمرو بن إسحاق بن بشير الأزدي السجستاني

Artinya:

Dari Hammam, ia berkata: “Seorang laki-laki datang memuji Sayyid ‘Utsman di depan beliau secara langsung. Miqdad pun mengambil tanah dan melemparnya pada wajahnya, lalu berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Manakala kalian bertemu dengan pemuji orang, maka, lemparkan tanah pada wajah mereka.”

H.R Abu Dawud (202 H – 275 H : 73 tahun).

Istifadah:
Kalimat Al maddahuun, Imam Khathabi mengartikannya sebagai seseorang yang menjadikan memuji sebagai suatu kebiasaan (pemuja), bahkan menjadikannya sebagai suatu pekerjaan yang upahnya untuk menafkahi kehidupan sehari-harinya.

Berbeda dengan seseorang yang memuji atas perbuatan baik, semata karna menyukainya dan menganjurkan orang lain untuk menirunya, maka boleh.

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh Muslim menjelaskan: “pujian yang tertuju kepada seseorang itu apabila beresiko timbul fitnah, menjadikannya besar kepala. Maka, pujian menjadi terlarang.
Namun, apabila dalam memuji seseorang tidak muncul kemadaratan demikian, maka hukum memuji sah-sah saja.”

Sehingga pada dasarnya hukum memuji itu boleh. Namun, terlebih dahulu kita melihat siapa yang akan kita puji.

dalam ‘Aunul Ma’bud terdapat maklumat: “Hendaknya memuji seseorang sesuai realita, hingga ia tidak merasa diejek atas sesuatu yang tidak sesuai fakta, atau malah merasa bangga atas sesuatu yang tidak ia kerjakan”.

Al Maddaahuun

Mengenai kalimat “melempar wajahnya dengan tanah”, ulama berbeda pendapat dalam menginterpretasikannya:

  1. Mengartikannya sesuai makna dzahirnya: pendapat yang dikemukakan oleh Miqdad dan segolongan ulama.
  2. Dengan makna lain, yakni: sebuah ungkapan agar mengecewakan si pemuji dengan tidak memberinya sesuatu.

Wallahu a’lam

Oleh: Viki Mayanfa’uki

Tag‎ar ‎‎‎‏‏‎ ‎‏‏‎ ‎‏‏‎ ‎

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Assalamu'alaikum para pengunjung yang budiman.

Silahkan pilih salah satu kontak dibawah ini untuk menghubungi kami

Madrasah Darus-Sunnah

6 Tahun Setingkat Tsanawiyah-Aliyah