Kiai Ali Mustafa Yaqub

PENDIDIKAN ADALAH PEMBUDAYAAN DAN PENDAYAGUNAAN: Refleksi 1000 Hari Wafatnya Sang Kiai

Oleh: Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah*

Siang itu, tepat setelah zuhur, pada tahun 2014 Pesantren Darus-Sunnah kembali kedatangan tamu besar. Pada prinsipnya, tidak ada tamu yang kecil.

Semua tamu adalah besar dan terhormat. Namun, kali ini yang datang adalah bukan orang sekitar Jabodetabek, melainkan orang Suriname yang telah puluhan tahun tinggal di Suriname, sebuah negara yang memiliki beragam keunikan sejarah dan budaya.

Tamu kami kali ini adalah seorang diplomat senior di Suriname, sebuah negeri yang secara geografis terletak di Amerika Selatan, bekas jajahan Belanda, sama dengan Indonesia. Ia fasih berbahasa Jawa, kromo inggil, meskipun telah lama tinggal di Amerika. Di samping karena aslinya memang dari Kediri, Jawa Timur, di Suriname sana, ia juga sehari-harinya berkomunikasi dengan warga setempat dengan mengggunakan Bahasa Jawa.

Siang itu, beliau sengaja berkunjung ke Pesantren Darus-Sunnah yang baru akan memulai pembukaan Madrasah Darus-Sunnah, program enam tahun setingkat Tsanawiyah-Aliyah. Beliau ditemani oleh Pendiri dan Pengasuh Darus-Sunnah saat itu, Ayahanda Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub.

Sebagai santri yang saat itu baru saja diberi amanah untuk menjadi kepala Madrasah yang baru akan berdiri itu, saya diminta untuk menemani beliau berdua berkeliling asrama. Kami bertiga setelah meninjau asrama lantai dasar, bermaksud melangkah ke lantai dua dan tiga untuk meninjau kesiapan asrama untuk santri baru.

Tepat di samping tangga lanta dasar, langkah kami terhenti. Pandangan Kiai Ali tertuju ke arah kiri, membaca sebuah banner berisi Tata Tertib Pondok (???? ??????). Setelah mengamati sejenak, beliau pun langsung menananyai saya yang ada tepat di belakang beliau.

Isy hadza? [Apa ini?]” tanya beliau singkat.

Nizham al-ma’had, ya Ustadz! [Tata tertib pondok, Kiai!] Jawab saya singkat.

A ma waafaqtum a’ala hadza? [Bukankah anda sudah menyetujui tata tertib ini?]” tanya saya memberanikan diri untuk mengurangi penasaran atas alasan beliau menanyakan apa yang baru saja beliau baca itu.

Eiy na’am. Nawalani thalib iyyahu. Lakin laisa hakadza uriduh. [Ya, benar. Saat itu salah satu mahasantri datang menyodorkan ini. Tapi, bukan begini yang saya maksud]” Kata beliau menjelaskan.

Idzan, keif ya Ustadz, lau samahtum? [Nuwun Sewu, kalau begitu seperti apa, Kiai?]” Tanya saya.

al-Nizham yutsaqqaf, laa yu’lan mitsla hadza. La nahtaj ila I’lan ‘alal jidar. Al-muhiimm tsaqafah, la nizham. [Aturan itu dibudayakan, bukan dipampang. Kita tidak butuh pajangan tata tertib. Yang penting itu adalah budaya, bukan peraturan!]”

“Syuf, ij’al al-nizham tsaqafatan, la I’lanan. Idza kana lil I’lan, ba’din anta tabhats ‘an hilatih. Ooow, hadza ghairu maktub fi al-nizham. Idzan, hadza ja’iz. Owww, al-‘iqab hadza bass! Hadza khofif. [Begini, jadikan aturan itu sebagai budaya, bukan pajangan. Kalau Cuma dipajang seperti ini, nanti kamu cari-cari celah. Oh, ini tak tertulis di peraturan, berarti boleh dong! Oh, hukumannya cuma begitu, kalau begitu enteng!” Terang beliau sambil menapaki anak tangga menuju lantai dua.

Saya pun hanya diam mendengarkan penjelasan beliau, sambil merenungi apa filosofi di balik ketidaksetujuan beliau pada hal kecil yang sebenarnya telah umum dilakukan di banyak lembaga pendidikan. Setelah itu, beliau kembali mengajak tamunya itu mengobrol tepat saat tiba di lantai dua.

Usai percakapan singkat itu, saya terus kepikiran dawuh beliau tadi. Di satu sisi, beliau sangat ketat dalam urusan belajar. Saat kami menjadi mahasantri, beliau tidak kenal telat dalam hal kehadiran di kelas (halaqah). Telat lima menit sudah sama dengan tidak masuk. Tapi jika tidak masuk, hingga tiga kali, maka akan dikeluarkan, D.O.

Memang, selama kami nyantri di Darus-Sunnah beliau sama sekali tidak pernah meneyebutkan tata tertib, peraturan pesantren secara detail, a, b, c, d. Apalagi memajangnya. Belum pernah saya melihat ada peraturan pondok, baik yang ditandatangani oleh beliau atau sekedar oleh musyrif.

Beliau adalah orang yang sangat ketat dalam urusan belajar dan salat jamaah. Tapi, beliau juga tidak pernah mengabsen satu persatu santrinya. Jika tidak terlihat di barisan jamaah, atau tidak menjawab dalam hitungan beberapa detik saat dipanggil namanya di halaqah, berarti santri ini tidak ada, alias gha’ib. Simpel.

Dari situ, tanpa absen formal, santri-santri tetap bisa tertib. Hampir tidak ada yang menomorduakan Darus-Sunnah, selalu ada di nomor satu. Begitulah santri.

Dari sini, saya mencoba menyimpulkan bahwa itulah yang dimaksudkan oleh beliau dengan aturan jangan dijadikan sebagai sebatas peraturan. Beliau tidak mengingkari efektifitas peraturan, namun akan lebih baik jika peraturan itu berupa pembudayaan.

Dalam prinsip pembudayaan, jenis hukuman tertentu, atau bentuk pelanggaran tertentu tidak perlu dirinci. Apapun bisa menjadi konsekuensi dari sebuah tindakan yang tidak pantas dilakukan oleh santri. Konsekuensi itu bukan sekedar untuk menghukum atau menjerakan, melainkan untuk mendidik, mengubah, dan menjadikan santri lebih baik. Itulah pendidikan.

Kemudian, selama ini yang kami perhatikan dari cara beliau mendidik santri adalah melalui pemberdayaan. Santri tidak boleh malas. Santri harus bergerak. Beliau paling tidak suka melihat santrinya loyo, tidak tegas, tidak kokoh prinsipnya.

Di antara deretan kata-kata special yang selalu terngiang di telinga kami hingga kini adalah, “Anta syaabb! [Kamu itu anak muda!]” Bahkan beliau juga tak jarang menusir kemalasan santri dengan cara menyuruhnya mengikrarkan sebuah komitmen, “al-hayatu harakah. Fa man la yataharrak, fahuwa mayyit! [Hidup itu gerak. Siapa yang tak bergerak, berarti sudah mati!]” Simpel, tapi filosofis.

Kemudian, di hadapan beliau, seorang santri hamper tidak pernah mendapat jawaban atas masalahnya secara langsung. Pasti beliau menyuruh kami, para santri, untuk terlebih dahulu mengkajinya secara mandiri, “Ibhats! [Teliti! Kaji!]” Setelah kami menghadirkan hasil kajian singkat kami, barulah kemudian beliau menjelaskan masalah yang sedang kami hadapi.

Pemberdayaan yang dilakukan beliau hingga dalam bentuk pendelegasian, pengutusan, penberian amanah, dan hingga memfasilitasi kami untuk berkembang. Selalu, kami ditanya apakah liburan kali ini kamu khutbah? Belum lagi, kami juga ditugaskan untuk berdakwah, mengajar, menulis, berkarya, mendirikan pesantren. Semua itu langsung di bawah bimbingan beliau yang sudah disibukkan oleh tugas-tugas kenegaraan dan keumatan.

Begitulah cara beliau mendidik santri-santrinya. Setelah dibudayakan, diberikan keteladanan, kemudian diorbitkan.***

*Kepala Madrasah Darussunnah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Assalamu'alaikum para pengunjung yang budiman.

Silahkan pilih salah satu kontak dibawah ini untuk menghubungi kami

Madrasah Darus-Sunnah

6 Tahun Setingkat Tsanawiyah-Aliyah