Oleh: Ust. Ulin Nuha, M.Ag
Istirahat semalam kiranya cukup bagi kami untuk recovery stamina. Kebetulan hari pertama di Tembagapura bertepatan pada hari Ahad, 11 April 2021, di mana sebagian karyawan tambang memperoleh jatah libur kerja. Pagi itu pukul 10.00 WIT, Pak Hardi mengajak jalan pagi mengelilingi daerah sekitar tempat tinggal kami.
Pak Hardi merupakan ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Darussa’adah Tembagapura. Kami telah mengenal beliau sejak dua tahunan lalu, meskipun baru benar-benar bertatap muka sejak di sini. Melalui beliaulah kami pribadi mendapat undangan untuk menjadi Imam Ramadhan di Masjid tersebut.
Sembari jalan santai, kami berbincang banyak hal. Sesekali beliau menyapa para pejalan kaki yang lain. Beliau bercerita tentang kedua putranya yang saat ini nyantri di Pesantren Maslakul Huda dan belajar di Perguruan Islam Mathali’ul Falah, Kajen-Pati. Alhamdulillah keduanya tahun ini berhasil menyelesaikan hafalan yang merupakan syarat mutlak kenaikan kelas di Mathali’ul Falah. Maka obrolan pun mengalir begitu saja, karena kami pribadi juga alumni Mathali’ul Falah dan pernah mengalami hal yang sama.
Pagi itu, kami menyusuri jalan pasir-bebatuan Tembagapura yang naik turun layaknya pegunungan pada umumnya. Sesekali kami berhenti dan Pak Hardi mengenalkan beberapa tempat. Dari Masjid Darussa’adah, kami lantas menyusuri Street 21, lanjut Street 24, hingga kemudian berhenti di Sport Hall Tembagapura. Sejenak kami mengabadikan momen. Di pusat olah raga inilah, kata Pak Hardi, shalat Idul Fitri biasa dilaksanakan.
Dari Sport Hall, kami bergeser ke Panorama. Tampak di kanan-kiri BQ Apartement dan Flamboyan Barrack. Lalu kami belok kiri dan terus menyusuri jalan. Tampak satu tembok memanjang dan agak tinggi. Rupanya tembok itu berfungsi untuk menahan laju derasnya air dari atas jika hujan mendera. Pagi itu yang tampak hanyalah air terjun ringan.
Selanjutnya kami mendapati beberapa sisi tempat tinggal para karyawan tambang. Craft House, Trakindo Guest House, West Complex, BQ Three Haven, SQ5 Apartement, Porta Camp68, Palapa Estate, Street Housing Complex, Senior Guest House, hingga Mawar Mess Hall yang bersebelahan dengan Darussa’adah, adalah sederet hunian para warga untuk melepas lelah dari rutinitas kerja.
Dari situ kita menjadi tahu bahwa kota Tembagapura, khususnya sekitar Masjid Darussa’adah ini, memang diperuntukkan sebagai pemukiman tempat tinggal para pekerja tambang. Karenanya, area tersebut dilengkapi dengan beberapa fasilitas kebutuhan masyarakat, seperti tempat ibadah, sarana pendidikan, rumah sakit, terminal, pusat perbelanjaan, pusat olah raga, layanan perbankan, perpustakaan, gedung perkantoran dan workshop, hingga tempat ngopi sekedar untuk bersantai ria. Semua itu didesain dalam tata kota yang rapi dan dengan standar internasional.
Di sini, jalanan tidak beraspal melainkan hanya pasir bebatuan yang terkadang digerus oleh aliran air yang deras. Anda tidak akan menemukan kendaraan bermotor maupun mobil pribadi di sana. Perusahaan menyediakan bis khusus, truk pengangkut, serta mobil-mobil khas pegunungan lengkap dengan benderanya sebagai moda transportasi untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Satu hal yang memang aturan keamanan dan kemudian menjadi kearifan lokal di sini adalah pengutamaan kepada pejalan kaki. Jika mereka sedang menyeberang jalan, maka semua kendaraan di sekitarnya harus berhenti.
Demikianlah Tembagapura. Ia merupakan distrik bagian tengah Papua yang masuk dalam wilayah Kabupaten Mimika. Kota ini berada di pegunungan tropis yang lebat. Letaknya tidak jauh dari Puncak Cartenz, puncak tertinggi di Oceania dan tertinggi kedua di benua Asia.
Setiap hari, Tembagapura menyajikan awan putih berlapis yang selalu bertengger di dinding-dinding gunung, menyelimuti kota, serta menyapu jalanan dan pepohonan. Panorama nan indah membentang. Hutan nan rindang berhiaskan awan dan air terjun di mana-mana. Dari aliran air tersebut, masyarakat Tembagapura mencicipi keberkahannya untuk kebutuhan minum dan mandi sehari-hari.
Jika malam tiba, kabut semakin tebal dan hujan mengguyur setiap hari. Jangan ditanya dingin-tidaknya. Di sini, masyarakat terbiasa hidup dalam suhu kisaran 5-20 derajat celcius. Bahkan salju turun tiap tahunnya menghiasi kota di bumi Papua ini. Di lereng salah satu Puncak Jaya, konon masih terdapat hamparan es yang mungkin merupakan es terakhir atau satu-satunya di Indonesia.
Secara umum, Tembagapura masuk dalam area operasi salah satu perusahaan pertambangan. Luasnya mencapai 1.280 km2 dan dihuni oleh penduduk sebanyak 20.000-an jiwa. Masuk dalam wilayah Highland bersama Grasberg, Ertsberg, Heat Road, dan beberapa area lain, Tembagapura berada di ketinggian sekitar 2000 mdpl dan dapat ditempuh dalam waktu sekitar 20 menit dengan helikopter atau 2-3 jam dengan bus khusus dari Bandara Mozes Kilangin Timika.
Tempat di mana kami singgah di Tembagapura disebut Jobsite atau juga Milepost 68. Sebagaimana di area lain, di sini juga tersedia sarana penunjang kebutuhan spiritual, khususnya bagi umat Islam. Di gedung-gedung disediakan mushola dan terdapat Masjid Jami’ Darussa’adah, tempat kami singgah selama Ramadhan 1442 H ini. Masjid dan musholla tersebut menjadi simbol bahwa agama Islam bergeliat di sana. Kita dapat mengamati tingkat spiritiual masyarakat melalui aneka aktifitas yang diselenggarakan oleh masjid.
Dari sini, kami teringat salah satu sabda baginda Nabi saw:
جُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
“Bumi dijadikan untukku sebagai tempat bersujud dan alat bersuci.”
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam versinya yang lebih lengkap. Kebanyakan ulama memahami hadis ini sebagai dalil bolehnya shalat di belahan bumi manapun dan menjadikannya sebagai alat bersuci, yaitu untuk tayammum. Tentu dengan syarat bumi atau debu tersebut suci.
Bagi kami, selain pemahaman di atas, hadis ini juga memuat pesan tersirat bahwa di mana pun bumi dipijak, maka di sana akan ada hamba-hamba Allah yang menyembah-Nya. Sehingga syiar Islam perlahan muncul ke permukaan melalui simbol-simbolnya seperti masjid. Tak terkecuali di area pertambangan.
Tak terasa, pagi itu kami menyusuri jalan pengunungan hingga 5 kiloan meter. Waktu menunjuk angka 11 lebih dan sebentar lagi adzan Dzuhur berkumandang. Kami pun berpisah di simpang jalan. Pak Hardi pulang ke tempat tinggalnya dan kami pribadi menuju Masjid Darussa’adah.
One Response