Kiai Ali Mustafa Yaqub sangat pandai merawat kertas. Di meja kerjanya, tidak ada kertas yang terbuang dan masuk tong sampah sia-sia. Selembar kertas baru akan ditaruh di tempat sampah, jika memang seluruh bagiannya tidak bisa dimanfaatkan lagi. Selama masih ada bagian kertas yang kosong, jangan diharap itu kertas bisa masuk ke tong sampah, seperti kebanyakan orang.
Ada berbagai macam jenis kertas yang ada di meja kerja Kiai Ali. Mulai dari kertas undangan pembicara seminar dan ceramah, kertas makalah, hingga kertas proposal pendanaan. Biasanya, kertas-kertas semacam ini bagian belakangnya tidak difungsikan.
Saya tidak begitu mengerti mengapa kita tidak terbiasa mencetak makalah atau apapun secara bolak-balik. Padahal cetak bolak-balik itu bagian dari wujud kepulian kita terhadap hutan, yang kayunya diambil untuk membuat kertas. Semakin boros menggunakannya, tentu nafsu untuk menebang pohon sulit dikendalikan. Sangat ironis bila ada yang berteriak ‘save hutan’ tetapi tong sampahnya dipenuhi dengan kertas-kertas yang sebetulnya masih bisa digunakan.
Hobi Menulis
Kiai Ali memang tipikal orang yang hobi menulis. Seakan-akan menulis sudah menjadi bagian dari jiwanya. Setiap tahun beliau selalu menargetkan minimal dua atau tiga buku yang ditelorkannya. Hal ini masih dilakoninya meskipun usianya semakin menua. Kiai Ali tidak bisa mengetik di komputer laiknya anak muda saat ini.
Ia satu dari sedikit orang yang masih menulis dengan tulisan tangan. Kertas bekas makalah, proposal, ataupun undangan yang masih kosong di bagian belakangnya, dijadikannya sebagai kanvas ukiran penanya.
Setelah naskah tulisan selesai, beliau menyerahkannya kepada santri senior untuk segera diketik ulang dan dilayout supaya bisa dikirim ke penerbit. Sebelum dicetak, beliau membaca naskah itu dengan penuh ketelitian dan hati-hati guna memastikan tidak ada lagi kesalahan di dalamnya. Beliau tidak hanya menulis dalam bahasa Indonesia, sebagian besar bukunya juga ditulis dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Arab. Hingga saat ini sudah ada sekitar tiga puluh lima lebih buku-buku karya Kiai Ali.
Dalam halaqah pengajiannya, Kiai yang dijuluki Imam Besar Masjid Istiqlal ini seringkali memotivasi dan memancing santrinya untuk mau menulis artikel di media masa ataupun buku. ‘Wa la tamutunna illa wa antum katibun (janganlah kalian wafat tanpa meninggalkan karya tulis),’ itulah petuah yang kerapkali disampaikannya. Beliau pernah berpesan, ‘sekalipun kalian ceramah dua atau tiga jam, itu tidak akan ada gunanya jika tidak dituliskan.’
Oleh karena itu, Kiai Ali mendukung penuh para santrinya untuk membuat majalah pesantren. Bahkan tak jarang pendanaan majalah berasal dari uang pribadinya.
Biasanya, Kiai Ali membekali para santrinya dengan segudang pertanyaan pada waktu pengajian. Setiap santri yang menjadi sasaran pertanyaan, harus mencari jawaban dan menuliskannya dalam bentuk artikel satu atau dua lembar. Bila tulisannya bagus, beliau merekomendasikannya untuk dimuat di majalah pesantren. Rekomendasi ini tentu membuat hati girang dan luar biasa senangnya hati si penulis.
Kebanyakan isi buku Kiai Ali lebih bersifat respon terhadap masalah sosial keagamaan yang terjadi di Indonesia. Sesekali beliau juga menjadi pencipta wacana di media masa. Tulisannya sangat renyah dibaca dan bahasanya dapat dipahami oleh orang awam sekalipun. Sesekali beliau juga memasukan nada humor dan canda dalam bagian tulisannya. Sehingga orang tetap bertahan dan tidak mau berhenti membaca bukunya hingga selesai.
Sekarang Kiai Ali sudah tiada. Beliau sudah menghadap Yang Maha Kuasa. Jasadnya memang sudah dikuburkan, tapi tulisannya tetap abadi sampai kapanpun.
Selamat jalan Bapak, semoga kami dapat meneladanimu dalam berkarya. []
Hengki Ferdiansyah
Santri Pesantren Ilmu Hadis Darus-Sunnah.