Catatan Singkat Ngaji Sorogan Kitab al-Tibyan
Para Ulama salaf telah mengajarkan bahwa ziarah ke makam para ulama adalah sesuatu yang baik. Dalam banyak literatur, semisal kitab al-Tibyan karya Hadlaratussyaikh Hasyim Asy’ari (1871-1947), termaktub kisah ziarah Imam al-Syafi’i (150-204 H) ke makam Imam Abu Hanifah (80-150 H). Perjalanan ziarah yang penuh suri teladan. Menggoreskan spirit pelajaran yang sangat berarti. Makam Imam Abu Hanifah, selaku pendiri madzhab Hanafiyah, berada di samping masjid Abu Hanifah di kota Baghdad Iraq. Sedangkan Imam al-Syafi’i, di sisa usianya, menetap di Kairo Mesir. Dalam kitab Tarikh Baghdad, Imam Khatib al-Baghdadi (392-463 H) mencatat, dua kali imam al-Syafi’i mengunjungi Baghdad.
Setidaknya ada 3 hal yang Imam al-Syafi’i lakukan saat ziarah ke makam Imam Abu Hanifah:
Menginap selama 7 hari di makam Imam Abu Hanifah.
Tidak tanggung-tanggung, ziarah tidak hanya cukup satu dua jam saja, tetapi berhari-hari. Bagi Imam al-Syafi’i, Imam Abu Hanifah adalah tokoh penting dalam perkembangan ilmu keislaman. Corak penggunaan rasio dalam memahami al-Qur’an dan hadis ala Imam Abu Hanifah, sedikit banyak mempengaruhi ijtihad Imam al-Syafi’i. Melengkapi corak ijtihad ahli hadis yang diserap Imam al-Syafi’i dari Imam Malik (93-174 H). Karena itu, meskipun tidak sempat bertemu langsung, Imam al-Syafi’i menaruh rasa hormat kepada Imam Abu Hanifah. Ziarah adalah salah satu bentuknya.
Membaca al-Quran
Hal kedua yang Imam al-Syafi’i lakukan adalah membaca al-Qur’an. Setiap kali khatam, Imam al-Syafi’i berdoa dan menghadiahkan pahala bacaannya kepada Imam Abu Hanifah. Membaca al-Qur’an adalah salah satu aktivitas yang banyak Imam al-Syafi’i lakukan selama 7 hari di makam Imam Abu Hanifah. Di samping mengimami sholat jamaah dan mengadakan majlis ilmu di tempat yang sama. Di saat itu, masih banyak murid-murid Imam Abu Hanifah. Mereka tidak segan berdiskusi dan bertukar pendapat dengan Imam al-Syafi’i. Membandingkan metodologi ijtihad Imam Malik dan Imam Abu Hanifah..
Imam Syafii meninggalkan Qunut
Ketiga, satu hal yang menjadi pelajaran dari ziarahnya Imam al-Syafi’i di atas adalah setiap sholat Shubuh di masjid Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi’i tidak membaca doa Qunut. Karena penasaran, sebagian murid Imam al-Syafi’i yang menyertainya bertanya. Mengapa selama 7 hari terakhir, Imam as-Syafi’i meninggalkan bacaan Qunut. Padahal Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa membaca Qunut adalah sunnah. Mendengar pertanyaan ini, dengan bijak Imam al-Syafi’i menjawab; “Sungguh, Imam Abu Hanifah tidak berpendapat kesunahan Qunut di setiap sholat Shubuh. Karena itu, aku tidak membacanya sebagai bentuk tata krama dan hormat kepada beliau.”
Jika ulama dahulu sudah mencontohkan pentingnya saling hormat dan menghargai perbedaan pendapat sedemikian hingga, lantas bagaimana dengan kita saat ini? Sudahkah?