darussunnah.sch.id – Hal yang tidak pernah terbayangkan dalam hidup ini, yaitu dapat menginjakkan kaki di Bumi Cendrawasih.
Tepatnya Selasa malam (06/04/21), 4 Musyrif termasuk saya berangkat menuju Papua. Sebelum berangkat, Ma’had melangsungkan acara pelepasan da’i biksah yang dihadiri Koordinator unit LPDM Darus-Sunnah, Ust. Ali Hudaibi, santri Madrasah Darus-Sunnah dan mahasantri Darus Sunnah Institute.
Masing-masing da’i berdakwah di tempat yang berbeda. Saya sendiri ditempatkan di Kp. Skouw Sae, Distrik Muara Tami, Jayapura.
Sebagian dari kami, ini merupakan pertama kalinya naik pesawat. Pengalaman penulis sendiri pernah naik pesawat ke Malaysia dan sampai dalam waktu tidak lebih dari 3 jam. Adapun ke Papua ternyata jauhnya melebihi Jakarta ke Malaysia. Terbang dari bandara Soekarno Hatta menuju Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Makassar. Setelah itu kami terbang menuju Timika, terakhir kami terbang lagi menuju Bandar Udara Sentani.
Awal menginjakkan kaki di tanah Papua adalah sebuah keramahan. Beberapa orang di antara warga yang merupakan sopir, ojek, atau pembawa barang sedang menyirih pinang, mulutnya terlihat merah, kebiasaan yang sangat melekat di daerah ini.
Ust. Dr. Muhammad Syukri Nawir, MA. (Syukri Nawir) yang merupakan kepala Pengabdian Masyarakat IAIN Fattahul Muluk menjemput kami dari Papua ke Jakarta, kemudian mengantar kami ke Papua. Perjuangannya sangat gigih dalam mengemban dakwah Islam. Di Kp. Skouw sendiri, siapa yang tak kenal sosok beliau. Sosok tegap berkarisma dan tegas.
Sampai di Sentani kami berpisah sejenak untuk menaruh barang. Saya dan Ust. Husein menuju Abepura, sedangkan Ust. Jafar dan Ust. Subhan menuju IAIN. Tak lama sampai di Abepura, kami menaruh barang di rumah Ust. Syukri yang tidak jauh dari masjid Agung As-Sholihin. Di sepanjang jalan yang kami lewati terhampar bukit-bukit yang hijau. Udara sejuk, sebab kendaraan tidak sepadat sebagaimana di Jakarta.
Keberagaman di tanah Papua baru kami lihat dengan mata kepala sendiri. Sebelumnya hanya mendengar kabar saja dari internet maupun orang yang pernah berkunjung kesini. Di Papua kami baru mendengar ada istilah rambut lurus dan rambut keriting. Rambut lurus merupakan sebutan bagi pendatang, dan keriting adalah pribumi. Keberagaman agama sudah tentu disini, mereka saling menghargai satu sama lain.
Toleransi sudah mengakar di masyarakat karena keberagaman yang ada. Di sepanjang jalan kami melihat banyak gereja, tak jarang di depannya terdapat masjid sebagaimana yang kami dapati di Sentani. Pun demikian pada gapura menuju rumah Ust. Syukri, terpampang besar baliho dengan foto Yesus Kristus.
Entah mengapa, dalam arus hidup pribadi penulis ada 2 sosok guru yang sangat penulis banggakan, namun sayangnya sama sekali belum pernah bertemu.
Pertama adalah Habib Munzir al-Musawa (w. 15 September 2013) pendiri Majelis Rasulullah. Penulis rutin mengikuti Jalsah Itsnain sejak masa-masa Tsanawiyah hingga Aliyah ketika liburan pesantren, dan rutinitas tersebut baru dilakoni saat beliau sudah wafat.
Kedua, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. (w. 28 April 2016). Penulis menempu pendidikan di Darus-Sunnah pasca beliau wafat.
Entah dua sosok ini, meski penulis saat itu belum terlalu mengenal jejak dakwah dan ajarannya, saat wafat dan menyalatkannya dari jauh (shalat gaib), air mata berlinang deras seraya sesenggukan menahan kesedihan yang entah diri ini sendiri belum tahu. Wallahu a’lam mengapa demikian.
Diri ini sangat yakin keduanya adalah sosok da’i yang tidak perlu diragukan keikhlasan dan peranannya untuk umat. Keduanya pula menjalankan misi dakwah di tanah Papua, sehingga di ingatan kaum muslimin Papua kedua sosok ini selalu terkenang dan mereka ingat jasanya selalu. Semoga dapat menapaki jejak dakwah dua sosok panutan kami. Amiin..
Kp. Skouw Sae, 14/04/2021
Penulis: Amien Nurhakim